PENGERTIAN URF
Secara
umum, pengertian urf dan adat adalah sama, yaitu kebiasaan. Namun jika di kaji
secara etimologi, Urf berasal dari kata ‘arafa
- ya’rifu yang berarti sesuatu yang dikenal atau diketahui. sedangkan adat berasal
dari kata ‘ada - ya’udu yang berarti
sesuatu yang di ulang-ulang (kebiasaan).
Di
dalam masyarakat, urf disebut juga dengan adat, yaitu suatu keadaan, ucapan
perbuatan dan ketentuan yang sudah di kenal oleh masyarakat dan telah menjadi
tradisi dan hukum bagi masyarakat. Dalam suatu golongan, mereka menganggap
bahwa adat dan urf adalah sama. Namun meskipun demikian urf dan adat memiliki
perbedaan satu sama lain. Urf merupakan suatu kebiasaan masyarakat umum yang
terbentuk akibat proses alam dan kebudayaan dari masyarakat tersebut, fungsinya
adalah sebagai hukum untuk kemashlahatan mereka sendiri. Sedangkan adat
merupakan kebiasaan masyarakat yang mencakup kebiasaan pribadi tanpa
mempertimbangkan baik atau buruknya kebiasaan tersebut. Di dalam masyarakat,
adat merupakan kebiasaan turun temurun dari nenek moyang mereka dan harus tetap
di jaga kelestariannya sampai generasi selanjutnya.
Menurut Mustafa
Ahmad Zarqa (Yordania), ‘urf merupakan bagian dari ‘adat, karena adat lebih
umum dari ‘urf. Suatu ‘urf harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah
tertentu bukan pada pribadi atau golongan. ‘Urf bukan kebiasaan alami, tetapi
muncul dari praktik mayoritas umat yang telah mentradisi. Misalnya, harta bersama,
konsinyasi, urbun, dan lain sebagainya.
PEMBAGIAN URF
Urf
dapat dibagi kedalam beberapa bentuk. Secara diterima atau tidaknya, urf
memiliki dua jenis. Pertama Urf shahih,
yaitu urf yang benar dan tidak bertentangan dengan syara’. Contohnya seperti
kebiasaan masyarakat untuk bertunangan sebelum melakukan pernikahan, hal ini
dibenarkan oleh syara’ karena tidak memiliki kemudharatan. Kedua Urf Asid, yaitu urf yang tidak benar
karena bertentangan dengan syara’. Contohnya adalah tradisi memberi suap kepada
para pejabat pemerintahan ataupun swasta agar diterima menjadi pegawainya.
Kemudian memberikan hadiah sebagai tanda terima kasih karena telah dinaikkan
jabatan oleh pimpinan. Hal ini tidak dibenarkan dalam dalam syara’ karena telah
berlaku curang untuk mendapatkan sebuah jabatan dalam sebuah instansi
pemerintahan atau swasta.
Dari
segi ruang lingkup berlakunya, urf terbagi menjadi dua jenis, pertama Urf ‘Am, yaitu urf yang berlaku secara
umum pada setiap daerah, masa dan keadaan. Kedua Urf Khash, yaitu urf yang berlaku khusus di suatu wilayah dalam
waktu dan keadaan tertentu.
Sedangkan
urf dari segi sifatnya dibagi kedalam dua bagian. Pertama Urf Qauli, yaitu urf yang berupa perkataan yang pada pengertiannya
memiliki arti yang umum, namun pada kebiasaannya hanya di artikan arti khusus
saja. Contohnya kata walad yang
memiliki arti anak-anak (termasuk anak laki-laki dan perempuan), namun pada
praktenya kata walad hanya di artikan
sebagai anak laki-laki saja. Kedua Urf
‘Amali, yaitu urf yang berbentuk perbuatan. Contohnya dalam jual beli, pada
hukumnya suatu akad jual beli haruslah menyebutkan shighat, namun pada praktek
dalam masyarakat tidak menyebutkan shighat. Hal ini dibolehkan oleh syara’
karena penjual dan pembeli mengerti maksud dari kedua mereka dan tidak terjadi
kecurangan didalamnya.
DASAR HUKUM 'URF MENURUT ULAMA
Para ulama menyepakati bahwa 'urf
yang dapat dijadikan dasar hujjah adalah ‘urf shahih karena urf tersebut tidak
bertentangan dengan syara'. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka
bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. .Hanafiyah
juga banyak menerapkan úrf dalam menetapkan hukum Islam, seperti bay’ wafa
(Jual Beli Wafa’). Imam Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya.
Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu
beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di
Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah
dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah. Jadi,
selama kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan syara’ dan membawa
kemashlahatan bagi masyarakat tersebut, maka urf tersebut dapat dijadikan
hujjah dalam kehidupan.
Adapun Kehujjahan Urf tersebut dapat
di tinjau dari beberapa indikator, yaitu urf ditujukan untuk memelihara
kemaslahatan, urf bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri tetapi senantiasa
terkait dengan dalil-dalil yang lain seperti maslahah dan istihsan, dan
kemudian urf menunjang pembentukan atau perumuan hukum Islam.
Kemudian, ada beberapa
ketentuan dan syarat-Syarat agar urf dapat diterima sbg dalil,
yaitu urf tersebut
tidak bertentangan dengan nash, urf itu mengandung maslahat bagi umat, urf
berlaku pada orang banyak, Urf itu telah berkembang pada masa dahulu, bukan urf
yang muncul kemudian dan Urf tersebut tidak bertentangan dengan syarat yang
dibuat dalam transaksi
KAIDAH-KAIDAH FIQHIYAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN 'URF
Ada beberapa kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan 'urf, yaitu :
Artinya:
"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum."
Artinya: "Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya."
Artinya:
"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan masa."
Dari
kaidah-kaidah fiqiyah tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa kebiasaan
suatu masyarakat dalam kehidupannya dapat menjadi sebuah hukum yang tidak
tertulis yang berlaku dalam kehidupan mereka dan senantiasa dipatuhi hanya
untuk golongan mereka sendiri, asalkan kebiasaan tersebut tidak bertentangan
dengan ketentuan islam. Selama kebiasaan tersebut berfungsi sebagai
kemashlahatan dan tidak ada yang dirugikan, maka tidak ada ketentuan hukum lain
yang menghalangi untuk dijalankannya adat tersebut.
Contoh urf dalam masyarakat
Banyak
contoh kebiasaan masyarakat yang seharusnya tidak dilakukan karena bertentangan
dengan kaidah islam. Salah satu contoh yang akan di angkat dalam permasalahan
ini adalah kebiasaan masyarakat kaya di pedesaan yang menyimpan uang dalam
jumlah besar dirumahnya tanpa memutar aliran distribusi uang tersebut. Masyarakat
prrimitif masih beranggapan bahwa siapa yang memiliki uang yang banyak, maka
dia lah yang paling kaya. Untuk itu mereka menyimpan uang sebanyak mungkin
untuk mendapatkan gelar hartawan tersebut. Kebiasaan ini akan berpengaruh
sangat tidak baik terhadap perputaran uang dan kondisi pasar yang pada akhirnya
akan berakibat pada perekonomian masyarakat setempat bahkan pada negara.
Menyimpan uang akan mengakibatkan kurangnya uang yang beredar dan akan memunculkan
inflasi di wilayah tersebut. Maka, seharusnya kebiasaan tersebut harus di
tindak lanjuti dengan mengajak masyarakat untuk menyimpan uang di Bank atau
lembaga keuangan lainnya agar uang tersebut dapat beredar secara normal dan menghilangkan
kemungkinan terjadinya inflasi.
Contoh
lainnya adalah pada transaksi jual beli. Penjual menawarkan barangnya kepada
pembeli hingga melebihi harga jual sebenarnya, hal ini bertujuan agar pembeli
menawar barang tersebut hingga pada harga yang telah direncanakan penjual
sebelumnya. Kebiasaan ini telah membudaya pada penjual dimanapun. Tanpa mereka
sadari, mereka telah melakukan penipuan terhadap pembeli. Seharusnya penjual
jujur dalam penetapan harga suatu barang berdasarkan harga pokok, biaya
tambahan barang dan keuntungan yang ingin diperoleh. Sehingga diantara keduanya
tidak ada yang dirugikan. Kebiasaan ini terlihat biasa saja dalam kehidupan
sehari-hari dan tidak ada yang mempertentangkannya karena kebiasaan ini muncul
secara alami. namun hal seperti ini tidak dibenarkan menurut syara’ karena
telah berlaku curang. Memang prinsip dasar transaksi jual beli adalah saling
ridha, akan tetapi mencari keridhaan pembeli tidaklah dengan cara menipu
pembeli.
Banyak kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat yang telah
menjadi budaya bahkan menjadi hukum bagi mereka. Namun terkadang kebiasaan
tersebut merupakan kebiasaan yang tidak baik dan bertentangan dengan syara’.
Sekarang tergantung pribadi kita untuk memilih mengikuti adat yang baik dan
memiliki mashlahat bagi masyarakat, atau menjalankan semua kebiasaan yang telah
mendarah daging dalam masyarakat tanpa mempertimbangkan baik atau buruknya
kebiasaan tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar