MEDIASI DALAM HUKUM NASIONAL

Senin, 09 Mei 2011 0 komentar
PENGERTIAN MEDIASI

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh Mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
Mediasi Menurut Hukum Positif : Peraturan Mahkamah Agung RI. No.2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di pengadilan, konsideranya adalah untuk mengurangi penumpukan perkara, merupakan salah satu cara menyelesaikan perkara lebih cepat dan murah, bersesuian dengan Pasal 130 HIR atau pasal P 153 RBg.

DASAR YURIDIS MEDIASI
Sejak zaman dahulu, masyarakat indonesia telah mempraktekkan mediasi dalam penyelesaian konflik, sebab mereka percaya bahwa dengan melakukan usaha damai maka akan mengantarkan mereka dalam kehidupan yang harmonis, adil, seimbang dan terciptanya nilai-nilai kebersamaan yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat.  Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip “kebebasan” yang menguntungkan kedua belah pihak. Para pihak dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh masyarakat. Para pihak tidak terpaku pada pembuktian tentang salah atau benarnya sengketa mereka, tetapi mereka lebih mempertimbangkan penyelesaian masalah untuk masa depan dengan mengakomodasikan kepentingan mereka secara berimbang. bentuk penyelesaian sengketa ini sering disebut dengan musyawarah atau mufakat.
Musyawarah dan mufakat merupakan falsafah masyarakat indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa. Musyawarah dan mufakat ini telah tercatat dalam falsafah indonesia pada sila ke-4, dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam sejarah perundang-undangan indonesia prinsip musyawarah dan mufakat yang berujung damai juga digunakan dalam lingkungan peradilan, terutama dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan perundang-undangan sejak masa kolonial belanda.
Mediasi dengan landasan musyawarah menuju kesepakatan damai, mendapat pengatuan tersendiri dalam sejumlah produk hukum hindia-belanda maupun dalam produk hukum indonesia sekarang. Pengaturan alternatif penyelesaian sengketa dalam aturan hukum sangatlah penting, karena indonesia merupakan negara hukum. Mediasi sebagai institusi penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh hakim di pengadilan atau pihak lain yang berada di luar pengadilan, akibat dari itu dalam keberadaan mediasi diperlukan aturan hukum.

Mediasi  Pada Masa Kemerdekaan Sampai Sekarang
Dalam pasal 24 UUD 1945 telah ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, baik di lingkungan peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara,  dan oleh mahkamah konstitusi. Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan disebut dengan litigasi, sedangkan penyelesaian sengketa diluar jalur pengadilan disebut dengan nonlitigasi. Dalam peradilan indonesia, proses penyelesaian perkara/sengketa menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan ini diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 14 tahun 1970 dan di ubah menjadi UU No.35 Tahun 1999 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Dalam pasal 4 ayat (2) dan pasal 5 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman disebukan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mencapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pada awalnya tidak disebutkan secara konkrit tentang mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa dalam ketentuan-ketentuan hukum. Ketentuan tentang mediasi baru ditemukan dalam UU No.30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2000 tentang lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dan peraturan mahkamah agung No. 02 tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan (win-win solution). Sangat berbeda dengan penyelesaian sengketa didalam pengadilan yang menganut prinsip win-lose. Dengan demikian, UU No.30 tahun 1999 telah memberikan dorongan kepada pihak yang bersengketa untuk dapat beritikad baik dalam penyelesaian sengketanya.
UU No.30 tahun 1999 mengatur dua hal yang utama, yaitu:
1.      Arbitrase
Dalam pasal 1 disebutkan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.

2.      Alternatif penyelesaian sengketa
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.


MEDIASI DI LUAR PENGADILAN
Landasan yuridis bagi penyelenggaraan mediasi diluar pengadilan diatur dalam UU No.30 tahun 1999 dan PP No.54 tahun 2000. Undang-undang ini menekankan penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan menempuh cara arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa dan mengatur tentang luas lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan.
Proses pelaksanaan mediasi diluar pengadilan dalam UU No. 30 tahun 1999 diatur dalam pasal 20 sampai 24.
Sedangkan proses pelaksanaan mediasi dalam ketentuan pasal 20 PP 54 tahun 2000 dimulai dengan pemilihan atau penunjukan mediator oleh para pihak pada lembaga penyedia jasa. Atas dasar penunjukan, maka mediator secepat mungkin melakukan mediasi  untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
Setelah proses mediasi tercapai, maka kesepakatan tersebut dijadikan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermaterai dan di tanda tangani oleh para pihak dan mediator. Dalam jangka waktu 30 hari setelah penanda tanganan kesepakatan, lembaran perjanjian tersebut tersebut diserahkan dan di daftarkan kepada panitera pengadilan negeri.

MEDIASI PADA LEMBAGA PERADILAN
Peraturan Mahkamah agung RI No. 02 tahun 2003 menjadikan mediasi sebagai bagian dari proses beracara pada pengadilan. Ia menjadi bagian integral dalam penyelesaian sengketa di pengadilan. Mediasi pada pengadilan menguatkan upaya damai sebagaimana yang tertuang dalam hukum acara pasal 130 HIR atau pasal 154 R.Bg. hal ini ditegaskan dalam pasal 2 perma No. 02 tahun 2003, yaitu semua perkara perdata yang diajukan kepada pengadian tingkat pertama harus terlebih dahulu di selesaikan dengan upaya damai.
Ketentuan pasal 2 perma mengharuskan hakim untuk menawarkan mediasi sebagai jalan penyelesaian sengketa sebelum perkara diperiksa. Mediasi merupakan kewajiban yang harus ditawarkan kepada pihak yang berperkara.
Pasal 3 perma dapat kita terjemahkan bahwa bagi pihak yang menolak mediasi tidak membawa konsekuensi hukum apapun terhadap perkaranya, karena perkaranya tersebut tetap akan dilanjutkan jika jalan mediasi gagal. Namun, pelanjutan sidang perkara tetap akan dipertimbangkan persyaratan formal perkara yang telah ditentukan dalam hukum acara.
Pada sidang pertama atau sebelum mediasi dilakukan, hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak mengenai prosedur dan biaya mediasi. Kemudian para pihak dapat memilih mediator yang telah disediakan oleh pengadilan, ataupun dapat menunjuk mediator dari luar pengadilan. Bila para pihak memberikan kuasa kepada kuasa hukumnya, maka kuasa hukumnya lah yang akan melakukan mediasi, kuasa hukum akan bertindak untuk dan atas nama para pihak.
Dalam pasal 4 perma No,02 tahun 2003 disebutkan bahwa dalam waktu paling lama 1 hari kerja, para kuasa hukum mereka harus berunding untuk menentukan mediator . penentuan mediator ini harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Setelah semuanya tersepakati, maka hakim memerintahkan untuk segera melaksanakan proses mediasi.

MEDIASI DALAM PERMA NO. 01 TAHUN 2008
            Prosedur mediasi di pengadilan telah disempurnakan menjadi peraturan Mahkamah Agung RI No.1 tahun 2008. Penyempurnaan tersebut dilakukan karena Perma No. 2 tahun 2003 mengalami masalah, sehingga penerapannya tidak efektif dalam pengadilan. Perma No. 1 tahun 2008 dikeluarkan untuk mempercepat, mempermurah dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih besar kepada pencari keadilan. Kehadiran Perma ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak.
            Pasal 4 Perma No. 1 tahun 2008 menentukan perkara yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan badan penyelesaian sengketa konsumen dan keberatan atas putusan komisi pengawas persaingan usaha.
Perma No. 1 tahun 2008 mencoba memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap, lebih detail sehubungan dengan proses mediasi di pengadilan. Diarahkannya para pihak yang berpekara untuk menempuh proses perdamaian secara detail, juga disertai pemberian sebuah konsekuensi, bagi pelanggaran, terhadap tata cara yang harus dilakukan, yaitu sanksi putusan batal demi hukum atas sebuah putusan hakim yang tidak mengikuti atau mengabaikan Perma No. 1 tahun 2008 ini.
Jika diperbandingkan dengan Perma No. 2 tahun 2003, maka Perma 2003 tidak memberikan sanksi, dalam Perma 2003, banyak aspek yang tidak diatur terutama mediasi di tingkat banding dan kasasi, sedangkan Perma No. 1 tahun 2008 mengatur kemungkinan mengenai hal itu.
Perubahan mendasar dalam Perma No 1 tahun 2008, dapat dilihat dalam Pasal 4, yaitu batasan perkara apa saja yang bisa dimediasi. Namun ketentuan tersebut belum menentukan kreteria secara spesifik mengenai perkara apa yang bisa dimediasi atau tidak bisa di mediasi. Pendekatan Perma ini adalah pendekatan yang sangat luas. Dalam Perma ini, semua perkara selama tidak masuk dalam kreteria yang dikecualikan, diharuskan untuk menempuh mediasi terlebih dahulu.
Kewajiban mediasi bagi pihak yang berpekara bermakna cukup luas. Para pihak diwajibkan untuk melakukan mediasi dalam menyelesaikan perkara-perkara sepanjang tidak dikecualikan dalam pasal 4 yaitu pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas keputusan BPSK, dan keberatan atas keputusan KPPU.
Semua sengketa perdata wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Perma No. 1 tahun 2008 tidak melihat pada nilai perkara, tidak melihat apakah perkara ini punya kesempatan untuk diselesaikan melalui mediasi atau tidak, tidak melihat motivasi para pihaknya, tidak melihat apa yang mendasari iktikad para pihak mengajukan perkara, tidak melihat apakah para pihak punya sincerity (kemauan atau ketulusan hati untuk bermediasi atau tidak). Tidak melihat dan menjadi persoalan berapa banyak pihak yang terlibat dalam perkara dan dimana keberadaan para pihak, sehingga dapat dikatakan Perma No 1 tahun 2008 memiliki pendekatan yang sangat luas.
Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008, Peran mediator menurut pasal 5 menegaskan, ada kewajiban bagi setiap orang yang menjalankan fungsi mediator untuk memiliki sertifikat, ini menunjukan keseriusan penyelesai sengketa melalui mediasi secara profesional. Mediator harus merupakan orang yang qualified dan memiliki integritas tinggi, sehingga diharapkan mampu memberikan keadilan dalam proses mediasi. Namun mengingat bahwa Perma No. 1 tahun 2008 mewajibkan dan menentukan sanksi (pasal 2), maka perlu dipertimbangkan ketersedian dari Sumber daya Manusianya untuk dapat menjalankan mediasi dengan baik.
Upaya mediasi wajib ini harus dilakukan dengan hati-hati. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak beriktikad baik. Sistim pengadilan sekarang banyak dikeluhkan memberikan kesempatan bagi pihak yang beriktikad tidak baik untuk mengajukan perkara atau gugatan yang tidak cukup kuat kepentingan hukumnya atau alas haknya. Tujuannya hanya untuk mengganggu atau merepotkan pihak lain. Mediasi wajib akan mengakibatkan proses berperkara di pengadilan semakin panjang karena ada prosedur yang wajib ditempuh. Sedangkan pada dasarnya mediasi adalah bagian dari alternatif penyelesaian sengketa yang harusnya dilakukan atas dasar sukarela (voluntir), kesuksesan mediasi sangat tergantung pada kemauan atau keinginan para pihak.
Kunci utama dalam mediasi adalah permasalahan waktu. Dalam sengketa-sengketa bisnis, semakin panjang waktu yang terbuang untuk menyelesaikan sengketa adalah kerugian besar terhadap kepentingan bisnis mereka. Jika menggunakan penyelesaian sengketa melalui peradilan biasa, perlu dipertimbangkan system pengadilan yang unpredictable, dapat mendorong pilihan penyelesaian pekara melalui mediasi.
Pada era Perma Nomor 2 tahun 2003, banyak pihak menggunakan mediasi karena tuntutan dari Perma dan merupakan formalitas yang belum ada sanksinya. Sekarang situasi tersebut dapat saja terjadi kembali. Para pihak mengikuti proses mediasi bukan karena keinginan hati, bukan karena mereka melihat ada peluang baik dari proses penyelesaian sengketa melalui mediasi atau melihat adanya keuntungan dari mediasi. Tetapi lebih karena kekhawatiran putusan mereka akan batal demi hukum apabila tidak mengikuti proses mediasi.
Pemahaman atas nature mediasi dan manfaatnya masih belum maksimal. Banyak masyarakat yang memahami mediasi sekedar bertemu dengan pihak ketiga sebagai mediator, tapi mereka tidak melihat adanya manfaat lebih dari proses mediasi tersebut. Sehingga pemahaman mengenai mediasi sangat penting. Seharusnya proses memberikan pemahaman terhadap manfaat penyelesaian perkara melalui mediasi (sosialisasi), harus dilakukan terlebih dahulu secara maksimal sehingga masyarakat mendapatkan pemahaman dan pengetahuan akan pentingnya proses penyelesaian perkara melalui mediasi, idealnya sebelum Perma No 1 tahun 2008 diberlakukan. Lebih jauh, meminjam pernyataan Frehman bahwa pembangunan cultur hukum adalah bagian ujung yang terpenting, artinya proses penyelesaian perkara melalui mediasi adalah budaya hukum masyarakat.
Hal ideal yang seharusnya terjadi adalah adanya tuntutan masyarakat pentingnya mediasi dalam proses penyelesaian perkara harus lebih tinggi dan kemudian pengadilan memfasilitasinya, akan tetapi, saat ini masyarakat belum menunjukan adanya kebutuhan mendesak perlunya mediasi dan tidak paham arti dari mediasi, sehingga Perma No. 1 2008 mendobrak semua keadaan tersebut, hasilnya adalah sebuah pertanyaan, apakah Perma Nomor 1 Tahun 2008 akan efektif , dengan segala komponen pendukung yang belum tersedia?, harus diingat bahwa Filosofi Alternative Dispute Resolution khususnya mediasi adalah sukarela dan untuk membantu, bukan untuk membebani.

MEDIASI DAN MEDIATOR
Mediasi, yang didefinisikan oleh Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 sebagai penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator , merupakan salah satu instrument efektif penyelesaian sengketa non-litigasi yang memiliki banyak keuntungan. Keuntungan menggunakan jalur mediasi antara lain adalah bahwa sengketa dapat diselesaikan dengan prinsip win-win solution, waktu yang digunakan tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, tetap terpeliharanya hubungan antara dua orang yang bersengketa dan terhindarkannya persoalan mereka dari publikasi yang berlebihan. Pengakuan akan keuntungan menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian sengketa non-litigasi ini dapat dilihat dalam konsideran diterbitkannya Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Mediasi tidak hanya bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa, melainkan juga memberikan beberapa manfaat bagi dunia peradilan. Pertama, mediasi mengurangi kemungkinan menumpuknya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan. Banyaknya penyelesaian perkara melalui mediasi, dengan sendirinya, akan megurangi penumpukan perkara di pengadilan. Kedua, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan akan memudahkan pengawasan apabila terjadi kelambatan atau kesengajaan untuk melambatkan pemeriksaan suatu perkara untuk suatu tujuan tertentu yang tidak terpuji. Ketiga, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan tersebut juga akan membuat pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan cepat.
Meski banyak memiliki kelebihan dan keuntungan, mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidaklah diatur secara memadai dalam peraturan-perundangan Dalam UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, mediasi tidak dijelaskan secara berimbang dan proporsional. Dalam Undang-undang ini, lembaga arbitrase diatur dan dijelaskan secara detail dalam 80 (delapan puluh) pasal, sedangkan alternative penyelesaian sengketa, termasuk mediasi di antaranya, hanya disebut dalam dua pasal saja, yaitu pasal 1, butir (10) dan pasal 6 yang terdiri dari 9 ayat. Selebihnya hanya diatur secara garis besar dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Dalam Perma No. 2 tahun 2003, mediator adalah pihak ketiga yang menyelesaikan perkara para pihak. Baik UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa maupun Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sama sekali tidak menyebutkan criteria yang harus dipenuhi untuk menjadi mediator. Meski untuk garapan mediasi yang sangat spesifik, yakni mediasi untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup, kriteria mediator bisa dilihat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2000. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa untuk menjadi mediator lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan maka seseorang harus memenuhi beberapa persyaratan pokok. Pertama, dia harus cakap melakukan tindakan hokum. Kedua, berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun. Ketiga, memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang lingkungan hidup paling sedikit 5 (lima) tahun. Keempat, tidak ada keberatan dari masyarakat (setelah diumumkan dalam jangka waktu satu bulan). Kelima, memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan. Keenam, dengan merujuk pada Perma No. 02 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 11, memiliki sertifikat mediator, yaitu dokumen yang menyatakan bahwa dia telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung.
Di samping itu, seorang calon mediator juga harus memenuhi persyaratan tambahan, yaitu disetujui oleh para pihak yang bersengketa, tidak memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa, tidak mempunyai hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa, tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak yang bersengketa dan tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
Meski hanya secara spesifik mengatur kriteria mediator untuk sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, kriteria mediator yang dikemukakan oleh PP No. 54 Tahun 2000 tersebut nampaknya sebagian dapat menjadi acuan bagi pengaturan kriteria mediator dalam sengketa non lingkungan hidup, sementara sebagian yang lain layak untuk dikritisi. Di antara yang layak untuk dikritisi adalah persyaratan pokok bahwa seorang mediator harus memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang spesifik yang disengketakan paling sedikit 5 (lima) tahun. Penentuan criteria tersebut tentu terlalu berlebihan karena peran mediator bukanlah untuk mencari solusi atas persoalan yang disengketakan, melainkan untuk memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa guna mencari solusi atas persoalan mereka sendiri. Solusi tentu bukanlah berasal dari mediator, melainkan dari para pihak yang bersengketa itu sendiri. Karenanya, seorang mediator tidak harus mengetahui, apalagi menguasai, secara detail bidang persoalan yang disengketakan.
Persyaratan pokok lainnya yang layak untuk dikritisi adalah penentuan umur minimal 30 (tigapuluh) tahun. Pertanyaan yang seringkali dimunculkan adalah mengapa seorang mediator minimal harus 30 (tiga puluh) tahun? Mengapa, misalnya, bukan 25 (dua puluh lima) atau 20 (dua puluh) tahun? Maksud penentuan umur minimal tersebut tentu tidak lain adalah bagaimana menampilkan seorang mediator yang memiliki kematangan intelektual (intellectual maturity), kedewaan berpikir dan keluasan wawasan.

PROSEDUR DAN TAHAP MEDIASI
Meski lebih fleksibel ketimbang penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, mediasi juga memiliki prosedur-prosedur baku. Prosedur mediasi, sebagaimana dinyatakan oleh Perma No. 02 Tahun 2003 pasal 1 (item 8), adalah tahapan proses pelaksanaan mediasi sebagaimana diatur dalam Perma tersebut. Prosedur mediasi tersebut, sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 Perma yang sama, harus diikuti oleh mediator dan para pihak yang bersengketa.
Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan membagi prosedur mediasi menjadi dua tahap, yaitu tahap pramediasi dan tahapan mediasi.
Tahap Pramediasi
Pasal 3 Perma No. 02 Tahun 2003 menyatakan bahwa pada hari sidang pertama di pengadilan yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, hakim mewajibkan kedua belah pihak tersebut untuk terlebih dahulu menempuh jalur mediasi dengan menunda proses persidangan. Dalam hal ini hakim wajib memberikan penjelasan kepada dua pihak tersebut mengenai prosedur mediasi.
Selanjutnya pasal 4 Perma yang sama menyatakan bahwa paling lama satu hari kerja setelah siding pertama, para pihak yang bersengketa wajib berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan. Bila dalam waktu satu hari tersebut kedua belah pihak belum dapat bersepakat tentang penggunaan mediator di dalam atau luar pengadilan, mereka wajib memilih mediator dari daftar mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama. Bila dalam waktu satu hari kerja kedua belah pihak belum dapat memilih mediator dari daftar yang disediakan oleh pengadilan, ketua majlis berwenang untuk menunjuk seorang mediator dari daftar mediator dengan penetapan. Dalam hal ini, hakim yang memeriksa suatu perkara —baik sebagai ketua ataupun anggota majlis—dilarang untuk bertindak sebagai mediator bagi pelaksanaan mediasi perkara tersebut.
Selanjutnya dalam pasal 5 Perma yang sama mengatur bahwa proses mediasi yang menggunakan mediator di luar daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan berlangsung selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari kerja. Setelah jangka waktu tersebut, para pihak yang bersengketa wajib menghadap kembali pada hakim pada sidang yang ditentukan. Dalam hal pelaksanaan mediasi mereka mencapai kesepakatan, mereka dapat meminta penetapan dengan suatu akta perdamaian. Bila kesepakatan tersebut tidak dimintakan penetapannya dalamsebuah akta perdamaian maka pihak penggugat wajib menyatakan pencabutan gugatannya.


Tahap Mediasi
Pada tahap mediasi, pasal 8 Perma tersebut menjelaskan bahwa dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotocopy dokumen yang memuat duduk perkara, fotocopy surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator.
Pasal 9 menyatakan bahwa mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi. Dalam proses mediasi termasuk para pihak dapat didampingi oleh kuasa hukumnya. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Yang dimaksud dengan kaukus, sebagaimana dijelaskan oleh pasal 1 butir (4), adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak dengan tanpa dihadiri oleh pihak lainnya.
Dalam hal ini, mediator wajib mendorong para pihak yang bersengketa untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak। Dalam proses mediasi ini, sebagaimana diatur dalam pasal 10, seorang mediator--atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum--dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam penyelesaian perbedaan. Semua biaya jasa seorang ahli atau lebih ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
Proses mediasi ini, sebagaimana diatur oleh pasal 9 ayat (5), berlangsung paling lama dua puluh dua hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator, dengan atau tanpa adanya kesepakatan antara kedua belah pihak di akhir proses mediasi.
Pasal 11 menyatakan bahwa dalam hal mediasi menghasilkan suatu kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai tersebut dengan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan yang dirumuskan oleh kedua belah pihak tersebut wajib memuat klausul pencabutan perkara atau pernyataan bahwa perkara telah selesai. Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa materi kesepakatan untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.
Setelah proses mediasi selesai para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah dicapainya kesepakatan. Atas pemberitahuan akan adanya kesepakatan tersebut, hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian.
Pasal 12 menyatakan bahwa dalam hal mediasi tidak dapat menghasilkan suatu kesepakatan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, yaitu 22 (dua puluh dua) hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal untuk mencapai kesepakatan dan memberitahukan kegagalan proses mediasi tersebut kepada hakim.
Segera setelah menerima pemberitahuan akan gagalnya proses mediasi tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan Hukum Acara yang berlaku. Dalam hal ini, pasal 13 menyatakan bahwa jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya. Fotocopy dokumen dan notulen atau catatan-catatan yang ditulis oleh mediator wajib dimusnahkan. Mediator juga tidak dapat diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan.


BEBERAPA LEMBAGA MEDIASI DI INDONESIA
  1. Lembaga Mediasi Non-Pengadilan
Lembaga mediasi non-pengadilan adalah lembaga mediasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk menyelesaikan sengketa. biasanya lembaga ini berbentuk badan hukum yayasan.
  1. Pusat Mediasi Nasional
Pusat mediasi nasional didirikan sebagai badan penyelesaian alternatif masalah ditujukan untuk menyelesaikan masalah ekonomi dan bisnis.
  1. Indonesian Institute For Conflict Transformation (IICT)
IICT merupakan lembaga yang memfokuskan kegiatannya pada mediasi dalam bidang transformasi dan manajemen konflik.
  1. Badan Arbitrase Nasional (BANI)
BANI didirikan untuk memberikan pelayanan penyelesaian sengketa perdagangan, industri dan keuangan secara adil dan cepat, baik bersifat nasional maupun internasional.
  1. Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)
BAPMI menyelesaikan sengketa atau beda pendapat yang berhubingan dengan kegitan di pasar modal indonesia dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepenuhnya dikuasai sepenuhnya oleh para pihak.
  1. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
BASYARNAS merupakan perubahan dari Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud arbitrase islam yang pertama kali didirikan di indonesia.
  1. Lembaga Mediasi Pada Bank Indonesia
Mediasi perbankan adalah mediasi yang diselenggarakan oleh lembaga mediasi independent yang dibentuk oleh asosiasi perbankan.
  1. Lembaga Mediasi Pada Perguruan Tinggi
Di beberapa perguruan tinggi di indonesia memiliki lembaga mediasi tersendiri untuk menyelesaikan konflik yang terjadi didalam perguruan tinggi tersebut.



KESIMPULAN

Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan antara para pihak yang bersengketa dengan dibantu oleh mediator. Mediator harus bersikap impartial dan neutral, karena ia dianggap sebagai ?kendaraan? bagi para pihak untuk berkomunikasi, karena faktor komunikasi merupakan salah satu penyebab mengapa konflik tidak segera terselesaikan. Istilah mediasi ini baru populer di Indonesia pada tahun 2000-an. Jika melihat proses mediasi, akar-akar penyelesaian sengketa melalui cara ini sudah dikenal jauh sebelum kemerdekaan, dimana seseorang yang terlibat dalam persengketaan, cara menyelesaikan perkara penyelesaiannya dilakukan dengan cara damai dan melibatkan pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut biasanya adalah tokoh masyarakat, tokoh agama atau pimpinan adat.
Penggunaaan mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa dengan damai ini dilatar belakangi oleh banyak faktor, seperti kecenderungan manusia untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara damai (win-win solution), proses berperkara di pengadilan yang lama dan biaya mahal, menumpuknya perkara di pengadilan, penyelesaian litigasi kadang menimbulkan masalah yang lebih panjang, dan lain sebagainya.
Berdasarkan realitas, pelaksanaan mediasi di Indonesia dilakukan oleh lembaga peradilan, khususnya Pengadilan Agama dan non peradilan, seperti lembaga-lembaga mediasi, instansi pemerintah, advokat dan lain-lainnya. Atas dasar pelaku mediasi, maka mediasi di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu mediasi yang dilaksanakan di dalam peradilan atau yang dikenal dengan court mandated mediation dan mediasi di luar peradilan. Mediasi yang dilaksanakan di pengadilan hingga saat ini memiliki sejarah landasan yuridis, yaitu Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003. Hal ini berbeda dengan mediasi yang dilaksanakan di luar pengadilan yang aturannya kurang jelas sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999. Untuk memahami landasan yuridis pelaksanaan upaya damai di Indonesia, maka penjelasannya didasarkan pada dua kategori diatas.
Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan membagi prosedur mediasi menjadi dua tahap, yaitu tahap pramediasi dan tahapan mediasi.
Lembaga mediasi di indonesia : Lembaga Mediasi Non-Pengadilan, Pusat Mediasi Nasional, Indonesian Institute For Conflict Transformation (IICT), Badan Arbitrase Nasional (BANI), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), Lembaga Mediasi Pada Bank Indonesia, Lembaga Mediasi Pada Perguruan Tinggi.



DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal. 2009. MEDIASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM SYARIAH, HUKUM ADAT & HUKUM NASIONAL. Jakarta ; Kencana

Harahap, Yahya. 2006. ARBITRASE. Jakarta; Sinar Grafika

http://www.wmc-iainws.com/detail_artikel.php?id=6

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 ART POINT | TNB